Skip to main content

[Review] Posesif; dan Posesifitas Kita

Mungkin review film ini lumayan telat ya, karena film ini sudah tiga minggu nangkring di bioskop. Dan udah dapet tiga piala citra! Dua darinya untuk aktris dan pemeran pendukung pria, sementara yang satunya untuk sutradara. Niat nontonnya udah lama, cuma baru ada duit kesempatan kemarin huhu.
Disclaimer lagi ya, review film ini murni datang dari bangku penonton. Bukan dari kacamata kritikus film maupun ahli psikologi yang membantah premis-premis dalam film ini.
-


Baik, kita mulai dari alasanku menonton film ini di bioskop. Awalnya, aku tahu keberadaan film ini dari iklan trailernya yang wara-wiri di homepage Youtube ku. First impression setelah nonton trailer-nya, adalah soundtrack-nya bagus, hehehe. Selain itu juga silver line ceritanya boleh juga. Maka, jadilah hari Kamis yang berbahagia itu aku nonton sendirian di bioskop.
Jujur saja, aku adalah penonton yang malas menonton film remaja di bioskop. Alasannya sederhana, aku merasa bahwa inti cerita film remaja Indonesia tidak lebih baik dari FTV di siang hari. Terlebih lagi, penggambaran dunia remaja yang membuatku seperti dicekoki kembang gula. Terlalu sweet, malah jadi naif dan terkesan jauh dari realita. Silver line film Posesif yang aku dapatkan dari trailer-nya adalah tentang abusive relationship. Film-film remaja lain tidak pernah se-serius ini. They brought something different yet fresh to the cinema.

Cerita diawali dari pertemuan Lala (Putri Marino) si atlet loncat indah dengan Yudhis (Adipati Dolken) anak pindahan yang ganteng banget, kalau kata Ega (Gritte Agatha) sahabat Lala. Tidak perlu lama-lama untuk membuat mereka jadian. Karena ya memang cerita tentang itu. Aku sendiri tidak rewel dengan cepatnya Lala dan Yudhis jadian, karena kalau nunggu berbulan-bulan, inti cerita ini nggak akan selesai dalam durasi dua jam, Sisterrr.
Lala yang sedang mempersiapkan diri untuk SEAGames, sehari-harinya cuma latihan, latihan, dan latihan. Terlebih lagi, pelatihnya adalah ayahnya sendiri. Yudhis, yang memang dasarnya pengen nemplok mulu sama Lala, mulai senewen karena Lala nggak punya banyak waktu buat dia. Yudhis ini diceritakan sebagai orang yang sangat posesif, punya trust issue yang sangat tinggi, dan emosian.
Wajarkah?
Wajar dan sangat wajar jika aku menjawab dari sudut pandang manusia. Sementara jika ditanya dari sudut pandang psikologis dan sosiologis, please baby, don't ask me.

Singkat cerita, hubungan Lala-Yudhis ini seperti layang-layang. Tarik ulur, tarik ulur. Yudhis buat kesalahan, Lala maafin. Lala bikin Yudhis marah, ya Yudhis tetap marah, tapi akhirnya balik baik-baik lagi. Banyak orang yang komentar bahwa si Lala ini terlalu naif. Ibarat kata anjing pun kalau udah kena pukul, nggak akan mendekati si pemukul. Eh, ini anak pinter (yhelas, keterima HI UI lewat jalur undangan) kok malah makin deket setelah dipukul.
Wajarkah?
Wajar dan realita ini ada banget di kehidupan nyata. I would do the same thing with Lala, if I was her. Usia-usia anak kelas tiga SMA mah memang begitu. Kalau udah cinta mah digorok juga rela. Nggak peduli punya banyak temen dan keluarga (yang memang tidak dekat, tapi akan selalu ada). Ini adalah potret kehidupan kita. Das sein, kalau kata anak hukum. Ini lah potret sosiologis korban kekerasan dalam pacaran. Alih-alih terbuka tentang hubungannya kepada orang lain, justru ia akan semakin menyimpan rapat apa yang terjadi. Sembari berpikir, "I can fix all this mess".

Isu kepemilikan Yudhis terhadap Lala digambarkan begitu besar. Bukan hanya cemburu sama sahabat laki-laki Lala. Bahkan Lala tidak boleh kuliah di UI karena Yudhis mau kuliah di ITB. Dengan berbagai cara Yudhis meyakinkan Lala untuk kuliah di Bandung aja sama dia. Kalau Lala tetap pilih UI, artinya mereka juga putus. Wow. Sebegitu besar sang sutradara memvisualisasikan sifat posesif Yudhis. Bahkan menjalani LDR tidak sempat terpikirkan oleh mereka berdua. LDR is the best friend of mine by the way.

Adegan apa yang paling aku suka?
Aku tahan napas di tiga adegan. Waktu Yudhis ngamuk ke Lala untuk pertama kalinya, waktu Mamanya Yudhis "menyiksa" Yudhis karena nggak mau pindah ke Bandung, dan waktu Yudhis menghajar preman-preman yang gangguin Lala.

Adegan yang aku suka sekaligus tidak suka adalah scene ulang tahun Lala. Siapa yang nggak suka dikasih surprise sama pacar tengah malem dan ... ena2? (Meskipun dalam film itu tidak gamblang disebutkan bahwa ada adegan seks di situ, tapi secara implisit aku menafsirkan demikian.) Jujur aja, aku suka adegan ini. Visualisasinya halus dan sopan sehingga tidak menjurus ke hal yang mesum. Tapi, ini mereka ceritanya masih anak SMA woy. Yang nonton juga masih anak-anak yang tiap adegan cium pipi aja tutup mata tapi ngintip dari sela-sela jari. Menurutku tanpa ada adegan ini, film ini akan tetap terbangun dengan apik kok. Tapi mungkin pesan yang ingin disampaikan dari adegan ini ada di akhir film. Bahwa meskipun sudah memberikan segalanya kepada Yudhis, Lala tidak kehilangan keercayaan dirinya, dia mampu bangkit dan berprestasi kembali.

Poin plus-plus dari film ini adalah semuanya. Dari ide cerita, pemilihan aktor, dialog yang tidak cheesy, make up anak sekolah yang wajar (biasanya di film-film, anak SMA juga pakai bulu mata badai, tapi di film ini enggaaaa), dan soundtrack yang semua eargasm. Bukan hanya lagu "Dan"-nya Sheila on 7, tapi juga lagu-lagu lain kayak lagunya Dipha Barus, Moksa, dan Banda Neira my luvv.

Sejujurnya film ini sangat related dengan kehidupan kita. Jangan terkecoh dengan usia tokoh yang masih SMA. Isu posesifitas ini tidak hanya terjadi di usia remaja, tetapi terjadi hampir di setiap hubungan. Rasa ingin memiliki pasangan itu pasti ada, sekecil apa pun itu. Misalnya, kalau pasangan kita nggak bales chat lalu kita telpon nggak ngangkat pasti drama dan mikirnya pasangan kita macem-macem. Atau kalau cowok kita pergi sama temen cewek atau sebaliknya pasti senewennya setengah mati. Atau kalau pasangan kita disakiti orang lain, rasanya pengen nonjok sampe bonyok orang yang bikin nangis pasangan kita, kan? Atau kalau pacar mau jadi ketua Dema, kita jadi marah karena tidak ingin membaginya dengan warga FH yang lain.

Lebih dari itu, posesifitas yang ditunjukkan dalam film ini tidak hanya terhadap pasangan, tetapi juga keluarga. Seorang ibu yang dominan terhadap anaknya (keren banget akting Cut Mini di sini). Bocoran dikit, Adipati yang guanteng dan gagah gitu bisa jadi kayak anak anjing kalau udah di tangan mamanya. Percaya deh, di kehidupan nyata hal kayak gitu sangat ada. Ini juga mengandung pesan penting untuk orang tua atau calon orang tua, bahwa jangan perlakukan anakmu seolah dia milikmu. Dia bukan benda yang bisa kau jaga dan awasi keberadaannya. Dia manusia yang sama sepertimu, dan manusia tidak dimiliki oleh manusia lain. Satu lagi, punishment terhadap anak itu tidak selamanya mendidik. Kalau kamu pukul anakmu di rumah, bisa jadi dia memukul teman sekelasnya di sekolah.

Di sisi lain, film ini juga mau menunjukkan kalau anak yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya, dia akan mencari orang lain yang memperhatikannya dan jika sudah ketemu, nyaman, bye keluarga. Lala (se-salah apa pun dia) dan Ayah (se-menyebalkan apa pun dia) pada akhirnya mereka bertemu di satu titik bernama penerimaan. Sebab, dari keluarga kita berasal dan kepada keluarga juga kita kembali.

8.5/10 deh untuk film ini hehe
Katanya bagus, kok cuma 8.5? Karena bagiku film ini belum selesai. Aku belum merasa ada kelegaan yang amat sangat setelah nonton film ini. Tapi overall bagus kok. Banyakin dong film macam ini!

Ayolah, tonton film oke oce ini sebelum mereka digeser Justice League.

PS: Agak gengges di ending ceritanya. Kalau boleh berkomentar, sutradara di sini ingin mengikuti nilai-nilai yang ada di masyarakat. Bahwa untuk apa bertahan dengan orang yang menyakiti kita. Padahal jika dia mau menerabas sedikit saja stigma masyarakat dan film ini ditambah durasinya beberapa menit, aku yakin maknanya akan lebih dapat. Karena setelah menonton film ini, timbul pertanyaan. "Lalu, orang-orang seperti Yudhis ini harusnya diapakan? Bagaimana ending dari seorang Yudhis?"

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pack (and unpack) These Feelings

Kau tahu apa hal yang paling sulit dari menjadi manusia? Bagiku, hal yang paling menyulitkan adalah punya berbagai perasaan. Marah, sedih, bahagia, kecewa, jijik, jatuh cinta, patah hati. Dari sekian banyak perasaan itu yang paling aku benci adalah jatuh cinta. Aku benci untuk bertemu dengan orang baru, merasa cocok, (tololnya) menjatuhkan hatiku, menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal berdua, lalu jika sudah saatnya berakhir, maka salah satu dari kami harus mengemasi koper perasaan dan hengkang dari relung hati masing-masing. Pergi menjauh, berjarak, pura-pura tidak kenal jika tiba-tiba bertemu di tempat umum. I hate to pack and unpack my feelings. It's like I just arrived at the hotel, unpack my luggage, choose what to wear and what to do, having fun, and when the checkout time arrived, I have to pack all of the joy and leave the hotel. Back to reality. I hate this kind of staycation yet I looove staycation so much. Lalu aku berhenti untuk membawa koper besar tiap ka...

Blooming in Time (I)

 Pada suatu ketika, aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku kehilangan aku. Suamiku tidak kehilangan istrinya. Anakku pun tidak kehilangan ibunya. (Mungkin) ibuku pun tidak kehilangan anak perempuannya. Tapi aku kehilangan aku. Mungkin aku kurang bersyukur, begitu kata orang-orang. Apalagi yang kuharapkan dalam hidup? Kehidupan layak, anak cerdas, suami setia, lingkungan kerja santai tapi gaji tetap ada. Apalagi yang kurang? Namun sekali lagi, sekali pun aku tak hentinya bersyukur dengan apa yang tercurahkan dalam hidupku, aku tetap merasa kehilangan aku. Sekali lagi, aku kehilangan aku. Bukan seperti gembala yang kehilangan asu - kelimpungan menjaga ternaknya. Tidak. Aku kehilangan aku. Dan aku ingin menemukan di mana diriku tercecer. Mungkin terselip di sela-sela halaman novel dewasa yang belum tamat kubaca. Di sudut kamar bersama debu-debu yang luput tersapu. Di dinding kamar mandi yang belum kugosok lagi. Aku ingin menemukan aku yang hilang. Sebelum ingatan tentangku juga kia...

[Review] Mengupas Metafora Dua Garis Biru

Sudah lebih dari seminggu sejak saya menonton film ini. Tetapi rasa terombang-ambing dalam pikiran, kekalutan, dan kesedihan itu masih nyata adanya. Saya menonton film ini bertiga berdua, dengan suami saya. Saya nggak nangis mewek sampai mata bengkak di dalam bioskop, tapi hati saya masih pilu sampai saat ini. Awalnya saya pun tidak ingin menuliskan review film ini karena sudah banyak sekali yang menuliskan, bahkan lebih apik dari tulisan saya. Jadi biar lah tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri saja. - Metafora yang Tak Berkesudahan Pasti teman-teman sudah tahu bahwa film ini bertabur metafora dari awal sampai akhir yang sudah diulas di berbagai review dan spoiler film ini. Kerang, stroberi, ondel-ondel biru adalah beberapa hal yang kerap diulas. Kali ini saya tidak akan mengulas metafora itu, karena saya cukup setuju dan mengaminkan saja yang telah diulas orang lain. Kali ini saya akan mengulas mengenai epilog dari film ini. Seperti yang sudah kita lihat (atau ba...