Skip to main content

Pack (and unpack) These Feelings

Kau tahu apa hal yang paling sulit dari menjadi manusia? Bagiku, hal yang paling menyulitkan adalah punya berbagai perasaan. Marah, sedih, bahagia, kecewa, jijik, jatuh cinta, patah hati. Dari sekian banyak perasaan itu yang paling aku benci adalah jatuh cinta. Aku benci untuk bertemu dengan orang baru, merasa cocok, (tololnya) menjatuhkan hatiku, menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal berdua, lalu jika sudah saatnya berakhir, maka salah satu dari kami harus mengemasi koper perasaan dan hengkang dari relung hati masing-masing. Pergi menjauh, berjarak, pura-pura tidak kenal jika tiba-tiba bertemu di tempat umum.

I hate to pack and unpack my feelings. It's like I just arrived at the hotel, unpack my luggage, choose what to wear and what to do, having fun, and when the checkout time arrived, I have to pack all of the joy and leave the hotel. Back to reality.

I hate this kind of staycation yet I looove staycation so much.

Lalu aku berhenti untuk membawa koper besar tiap kali bepergian. Aku berhenti untuk membawa tas cadangan, seperti yang se-la-lu kulakukan sebelumnya. Perjalanan kulakukan secepat mungkin, segala urusan kuselesaikan lebih cepat. Supaya aku bisa segera pulang tanpa harus membuka koper perasaanku dalam sebuah jeda di perjalanan panjang.

Sampai akhirnya aku (harus) bertemu kamu dalam sebuah perjalanan panjang. Yang sangat panjang. Koper kita tak lagi muat untuk menampung perasaan masing-masing. Membiarkan perasaan yang kita punya berserak di mana-mana. Here, there, and everywhere seperti lagu The Beatles yang tak pernah kita putar bersama.

I am here. And anywhere.

Comments

Popular posts from this blog

Blooming in Time (I)

 Pada suatu ketika, aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku kehilangan aku. Suamiku tidak kehilangan istrinya. Anakku pun tidak kehilangan ibunya. (Mungkin) ibuku pun tidak kehilangan anak perempuannya. Tapi aku kehilangan aku. Mungkin aku kurang bersyukur, begitu kata orang-orang. Apalagi yang kuharapkan dalam hidup? Kehidupan layak, anak cerdas, suami setia, lingkungan kerja santai tapi gaji tetap ada. Apalagi yang kurang? Namun sekali lagi, sekali pun aku tak hentinya bersyukur dengan apa yang tercurahkan dalam hidupku, aku tetap merasa kehilangan aku. Sekali lagi, aku kehilangan aku. Bukan seperti gembala yang kehilangan asu - kelimpungan menjaga ternaknya. Tidak. Aku kehilangan aku. Dan aku ingin menemukan di mana diriku tercecer. Mungkin terselip di sela-sela halaman novel dewasa yang belum tamat kubaca. Di sudut kamar bersama debu-debu yang luput tersapu. Di dinding kamar mandi yang belum kugosok lagi. Aku ingin menemukan aku yang hilang. Sebelum ingatan tentangku juga kia...

[Review] Mengupas Metafora Dua Garis Biru

Sudah lebih dari seminggu sejak saya menonton film ini. Tetapi rasa terombang-ambing dalam pikiran, kekalutan, dan kesedihan itu masih nyata adanya. Saya menonton film ini bertiga berdua, dengan suami saya. Saya nggak nangis mewek sampai mata bengkak di dalam bioskop, tapi hati saya masih pilu sampai saat ini. Awalnya saya pun tidak ingin menuliskan review film ini karena sudah banyak sekali yang menuliskan, bahkan lebih apik dari tulisan saya. Jadi biar lah tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri saja. - Metafora yang Tak Berkesudahan Pasti teman-teman sudah tahu bahwa film ini bertabur metafora dari awal sampai akhir yang sudah diulas di berbagai review dan spoiler film ini. Kerang, stroberi, ondel-ondel biru adalah beberapa hal yang kerap diulas. Kali ini saya tidak akan mengulas metafora itu, karena saya cukup setuju dan mengaminkan saja yang telah diulas orang lain. Kali ini saya akan mengulas mengenai epilog dari film ini. Seperti yang sudah kita lihat (atau ba...