Skip to main content

Mau Kemana Kita?

Welcome to the jungle and enjoy the real life!

Begitu kata orang-orang yang diucapkan saat wisuda kemarin. Jujur, waktu itu aku berpikir bahwa 'jungle' yang dimaksud adalah dunia kerja yang segalanya gelap gulita karena pergi pagi pulang dini hari. Ya, intinya dunia kerja lah. Tapi setelah menjalani kehidupan paskawisuda, ternyata 'jungle' itu tidak lain adalah pertanyaan-pertanyaan macam "Habis ini mau ke mana?" atau "Kamu daftar ke PT X ngga?" atau "Kowe sidane daftar kementerian endi?" atau pertanyaan lain semacam itu. Rasanya kok setelah kuliah kita tidak punya tempat bernaung.
Lucky me, and my angkatan, tahun ini pemerintah membuka lapangan kerja di 63 instansi (gelombang 1 dan 2) sekaligus. Pemerintah sepertinya sedang membuka kran air dan disemprotkan kepada seluruh rakyat yang kekeringan. Jika menelisik lebih dalam lagi, apa motif pemerintah yang membiarkan rakyatnya kekeringan hingga penghujung 2017? Ingat ya, 2 tahun lagi pemilu. Hehe.
Stop.
Konten ini tidak akan membahas mengenai politik pemerintahan.

Seiring dengan bukaan kran air dari pemerintah itu, 'jungle'ku ini semakin cepat datang. Semakin cepat ditanyakan oleh orang-orang. Semakin ramai orang-orang yang berkerumun untuk menanyakan, "Kamu daftar ke instansi mana? Cakim atau Kemenkumham? Gelombang 2 daftar mana? LIPI atau MK?" Yawla ... tak berkesudahan.
Untuk (memberanikan diri) menjawab pertanyaan ini, jujur aku membutuhkan berkontemplasi dan berdamai dengan diriku sendiri beberapa saat. Kenapa?

Karena, setelah aku merenungi nasib, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan masa lalu, dan berdamai dengan diriku, aku baru mengetahui apa yang benar-benar aku inginkan. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu. Tidak ingin jatuh ke lubang yang sama, actually.
Kesalahanku yang aku maksud adalah dulu aku takut menjadi angsa hitam di tengah-tengah angsa putih, I'm afraid being spotlight. Makanya main aman aja, ngikut arus, yang penting ada temenya.
Waktu SMA ngikut-ngikut temen masuk jurusan IPA, terus merasa payah abis matematika dan fisika. Nilai UN bubar jalan. Akhirnya malah masuk FH.
Terus waktu semester 5 alias waktunya pada ambil konsen, ngikut teman-teman masuk konsen perdata. Meskipun ingin HTN, tapi karena nggak punya temen di situ jadinya takoet. Akhirnya sekarang di pusat studi HTN dan merasa gblg banget. Merasa belajarku kurang malam dan membacaku kurang banyak.

Kali ini aku tidak ingin takut menjadi angsa hitam.

Hingga suatu hari aku menemukan tweet pembenaran atas keputusanku. Tweet-nya @falla_adinda ini:
For me, she is absolutely right. I do agree with her tweets. Cukup pernikahan (nantinya, karena sekarang belum meniqa) dan pendidikan aja yang bisa 'ngiket' gua, pekerjaan sih belom sanggup bayanginnya.
Pertama, aku tidak cukup kuat mengorbankan diri untuk ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah NKRI. Meskipun ya I'm fine with LDR, but we never know how difficult LDM (long distance marriage) is. Dan jujur, aku ini sangat penakut dan tidak bisa membayangkan diriku hidup di pelosok negeri yang masyarakatnya lebih fasih berbahasa daerah daripada bahasa Indonesia. Aku belum seteguh dan setegar itu untuk berbakti pada ibu pertiwi atau mengabdi pada perusahaan.
Kedua, setiap pagi aku masih ingin goler-goler di rumah pake daster dan nonton !nsert pagi. Sementara kalau aku jadi PNS atau kerja kantoran whatever it is, aku harus ready 8 (or 9) to 5 (and probably more) to stay at office. Buatku cukup jadwal sekolah aja yang bisa ngiket aku untuk berangkat jam sekian dan pulang jam sekian. Nanti anak-anak aku sama siapa? Kasian bapaknya kalau akunya ngantor terus. Halah, kan sekarang belum punya. Iya, tapi menurutku ini juga penting sebagai bahan renungan untuk mencari kerja yang pas.
But I got good quote from Ibu (Ibunya Mas Faiz maksudnya). Beliau bilang "Tante dulu kerja, dapet duit, tapi duitnya buat bayar pembantu yang ngurusin anak di rumah. Jadi Tante kok kayak kerja buat pembantu, bukan buat anak. Akhirnya Tante resign." Ya juga ya haha. Rasanya kok berapa pun gajinya nggak bisa nuker yang namanya waktu.
Dan
Aku nggak sanggup untuk wajib militer ala-ala (apa sih namanya yang biasanya di barak-barak tentara itu) yang diadakan pemerintah atau perusahaan untuk pegawai baru. Bukan karena fisiknya nggak kuat. Tapi karena aku sudah pernah mengalaminya waktu diklat THA. Jadi, aku tidak mau lagi. Hehe.

Terus, Riz, kamu bahagia nggak dengan kerjaanmu sekarang yang freelance tapi gajinya juga kalo ada proyek?
Yes, I am happy, karena masih bisa nonton !nsert pagi. Untuk saat ini masih enjoy aja meskipun ya ada dukanya juga. Mungkin karena aku tidak ada tanggungan jadi ya happy-happy aja dengan kerjaan kayak gini. Entahlah, aku selalu yakin kalau Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya kelaparan, karena sungguh nikmat-Nya tersebar di seluruh penjuru dunia dan setiap makhluk-Nya sudah dijamin rezekinya. Pasti adaaaa aja jalannya.

Intinya guys, semua pekerjaan itu ada nggak enaknya. Waktu, tempat, besaran gaji, risiko pekerjaan (fisik maupun psikis) itu adalah hal-hal yang bisa kita pilih untuk kita korbankan. Tidak bisa merengkuh semua-muanya. Kalau aku, untuk saat ini, yang tidak bisa aku korbankan adalah waktu, tempat, dan risiko pekerjaan, jadi aku memilih untuk mengorbankan besaran gaji.
Prinsipku, kalau kamu orangnya nggak bisa bekerja dengan ritme yang tetap alias  8 (or 9) to 5 (and probably more), ya jangan kerja kantoran. Kalau kamu nggak bisa multitasking ngatur jadwal dan nggak betah lihat dompet kosong karena sebulan nggak ada kerjaan, ya jangan kerja freelance. Kalau ingin cepat kaya, ngepet aja kita. Do something you really want to do. And don't be afraid being a black swan.

Sebuah disclaimer (kok di akhir sih, harusnya kan di awal) sebelum menutup post ini, aku tidak berusaha mendiskreditkan suatu profesi tertentu, karena profesi-profesi kita nantinya akan saling berkesinambungan. Aku juga tidak beusaha mempengaruhi orang agar tidak menjadi 'budak korporat' atau 'abdi negara'. Ini hanya refleksiku, hasil kontemplasiku, dan sebuah jawaban dariku.

Gitu guys.

Comments

Popular posts from this blog

Pack (and unpack) These Feelings

Kau tahu apa hal yang paling sulit dari menjadi manusia? Bagiku, hal yang paling menyulitkan adalah punya berbagai perasaan. Marah, sedih, bahagia, kecewa, jijik, jatuh cinta, patah hati. Dari sekian banyak perasaan itu yang paling aku benci adalah jatuh cinta. Aku benci untuk bertemu dengan orang baru, merasa cocok, (tololnya) menjatuhkan hatiku, menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal berdua, lalu jika sudah saatnya berakhir, maka salah satu dari kami harus mengemasi koper perasaan dan hengkang dari relung hati masing-masing. Pergi menjauh, berjarak, pura-pura tidak kenal jika tiba-tiba bertemu di tempat umum. I hate to pack and unpack my feelings. It's like I just arrived at the hotel, unpack my luggage, choose what to wear and what to do, having fun, and when the checkout time arrived, I have to pack all of the joy and leave the hotel. Back to reality. I hate this kind of staycation yet I looove staycation so much. Lalu aku berhenti untuk membawa koper besar tiap ka...

Blooming in Time (I)

 Pada suatu ketika, aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku kehilangan aku. Suamiku tidak kehilangan istrinya. Anakku pun tidak kehilangan ibunya. (Mungkin) ibuku pun tidak kehilangan anak perempuannya. Tapi aku kehilangan aku. Mungkin aku kurang bersyukur, begitu kata orang-orang. Apalagi yang kuharapkan dalam hidup? Kehidupan layak, anak cerdas, suami setia, lingkungan kerja santai tapi gaji tetap ada. Apalagi yang kurang? Namun sekali lagi, sekali pun aku tak hentinya bersyukur dengan apa yang tercurahkan dalam hidupku, aku tetap merasa kehilangan aku. Sekali lagi, aku kehilangan aku. Bukan seperti gembala yang kehilangan asu - kelimpungan menjaga ternaknya. Tidak. Aku kehilangan aku. Dan aku ingin menemukan di mana diriku tercecer. Mungkin terselip di sela-sela halaman novel dewasa yang belum tamat kubaca. Di sudut kamar bersama debu-debu yang luput tersapu. Di dinding kamar mandi yang belum kugosok lagi. Aku ingin menemukan aku yang hilang. Sebelum ingatan tentangku juga kia...

[Review] Mengupas Metafora Dua Garis Biru

Sudah lebih dari seminggu sejak saya menonton film ini. Tetapi rasa terombang-ambing dalam pikiran, kekalutan, dan kesedihan itu masih nyata adanya. Saya menonton film ini bertiga berdua, dengan suami saya. Saya nggak nangis mewek sampai mata bengkak di dalam bioskop, tapi hati saya masih pilu sampai saat ini. Awalnya saya pun tidak ingin menuliskan review film ini karena sudah banyak sekali yang menuliskan, bahkan lebih apik dari tulisan saya. Jadi biar lah tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri saja. - Metafora yang Tak Berkesudahan Pasti teman-teman sudah tahu bahwa film ini bertabur metafora dari awal sampai akhir yang sudah diulas di berbagai review dan spoiler film ini. Kerang, stroberi, ondel-ondel biru adalah beberapa hal yang kerap diulas. Kali ini saya tidak akan mengulas metafora itu, karena saya cukup setuju dan mengaminkan saja yang telah diulas orang lain. Kali ini saya akan mengulas mengenai epilog dari film ini. Seperti yang sudah kita lihat (atau ba...