Skip to main content

[Review] Mengupas Metafora Dua Garis Biru

Sudah lebih dari seminggu sejak saya menonton film ini. Tetapi rasa terombang-ambing dalam pikiran, kekalutan, dan kesedihan itu masih nyata adanya. Saya menonton film ini bertiga berdua, dengan suami saya. Saya nggak nangis mewek sampai mata bengkak di dalam bioskop, tapi hati saya masih pilu sampai saat ini. Awalnya saya pun tidak ingin menuliskan review film ini karena sudah banyak sekali yang menuliskan, bahkan lebih apik dari tulisan saya. Jadi biar lah tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri saja.
-
Metafora yang Tak Berkesudahan
Pasti teman-teman sudah tahu bahwa film ini bertabur metafora dari awal sampai akhir yang sudah diulas di berbagai review dan spoiler film ini. Kerang, stroberi, ondel-ondel biru adalah beberapa hal yang kerap diulas. Kali ini saya tidak akan mengulas metafora itu, karena saya cukup setuju dan mengaminkan saja yang telah diulas orang lain.
Kali ini saya akan mengulas mengenai epilog dari film ini. Seperti yang sudah kita lihat (atau baca), di akhir film kita bisa melihat bahwa bayi Dara dan Bima akhirnya dibawa oleh Bima. Sementara Dara pergi bersama orang tuanya. Katanya ia bercita-cita untuk meneruskan pendidikan ke Korea dan tidak setuju bahwa bayinya akan diadopsi oleh orang lain (dalam hal ini om dan tante Dara). Alih-alih diadopsi oleh orang mapan, Dara justru memilih Bima untuk mengasuh bayi mereka.
Banyaaaak sekali netizen yang tidak setuju dengan pilihan Gina S. Noer ini. Ada yang bilang kalau harusnya Dara yang merawat bayinya karena Dara adalah ibunya. Persetan dengan mimpi Dara untuk melanjutkan pendidikan di Korea. Merawat bayinya merupakan sebuah "hukuman" yang harus ia tanggung karena telah melakukan kesalahan besar. Ada juga yang berpendapat kalau seharusnya yang ditunjukkan di film ini adalah bagaimana Dara dan Bima diusir dari lingkungan rumahnya, menghadapi sulitnya berumah-tangga tanpa bekal ilmu dan finansial yang cukup. Dengan pilihan cerita seperti itu, mungkin akan lebih menampar para remaja untuk tidak melakukan hubungan seks pranikah.
Bagi saya, yang cetek sekali jiwa seninya (tapi kata suami saya, saya bisa mengambil makna lain dalam film maupun cerita), bagian akhir dari film ini adalah metafora. Seperti kerang, stroberi, dan ondel-ondel biru yang merupakan simbol-simbol dari makna sebenarnya. Mengapa akhirnya Bima yang "merawat" anaknya? Menurut saya, itu adalah simbol bahwa seorang anak tidak hanya tanggung jawab ibunya saja. Ayah, juga berperan sangat penting dalam merawat anaknya. Kalau metafora yang dipilih adalah dengan Dara menggendong bayinya dan mereka pergi bertiga, tentu ini tidak akan mengajarkan apa-apa. Toh itu anak mereka, kesalahan mereka, jadi mereka dong yang harus menanggungnya. Wajar, selaras dengan apa yang lumrah terjadi di masyarakat. Lebih dari itu, jika hanya Dara yang membawa si bayi, maka pesan yang tercipta adalah ibu lah yang seharusnya merawat anaknya. Lagi-lagi wajar dan selaras dengan apa yang lumrah terjadi.
Sebuah film tingkat tinggi, kalau kata suami saya. Maknanya tidak hanya tersurat mentah-mentah dalam dialog, visualisasi, dan soundtrack. Justru penonton harus berpikir dalam menyelami makna sesungguhnya dalam film ini.
-
Kesalahan Anak dan Kesabaran Orang Tua
Setiap anak pasti pernah melakukan atau setidak-tidaknya merasa melakukan kesalahan terhadap orang tuanya. Tidak usah jauh-jauh melakukan kesalahan seberat apa yang dilakukan Dara dan Bima. Cukup dengan melihat orang tua kita nangis aja, rasanya hati ini udah bergetar dan merasa bersalah banget. Saya pun tidak menutupi bahwa saya tidak pernah melakukan kesalahan besar kepada orang tua saya. Serupa tapi tak sama dengan apa yang terjadi dalam film tersebut. Saya pernah merasakan betul bahwa samudera kesabaran dan maaf orang tua itu benar-benar luas tak bertepi.
Lagi-lagi pendapat tidak populer yang diangkat oleh Gina S. Noer (dan saya setuju). Bahwa ketika anak kita melakukan kesalahan besar, tidak dapat dipungkiri bahwa ledakan emosi akan pecah seketika. Membuat keputusan berdasarkan emosi, tak terelakkan lagi. Sama halnya dengan Mama Dara yang mengusir Dara begitu tahu bahwa Dara hamil. Tapi beberapa hari kemudian Dara dijemput, kan? Meskipun tidak serta merta memaafkan kesalahan Dara dan Bima, tetapi anak yang berbuat kesalahan sebesar apa pun itu tetap harus dirangkul, harus direngkuh, harus dimaafkan. Orang dewasa pun butuh waktu untuk mencerna dan beradaptasi dengan hantaman masalah yang ada. Butuh waktu buat berpikir, kalau kata orang-orang sekarang.
Saya sebagai anak yang pernah melakukan kesalahan besar kepada orang tua dan pernah juga merasakan tercebur dalam samudera kesabaran dan maaf orang tua, melihat adegan ini seperti dejavu. I've been there, done that. Ini lah yang membuat saya pribadi merasa related dengan film ini. Sebagai anak yang nantinya akan mempunyai anak, jujur saja saya menerka-nerka apa yang akan anak saya perbuat di masa depan. Siap kah saya untuk selalu sabar dan memaafkan apa pun kesalahan anak saya? Alih-alih menerka wajah anak saya lebih mirip saya atau bapaknya, saya berhari-hari justru memikirkan hal itu.
Siap kah saya menjadi orang tua?
Bagi saya, menjadi orang tua itu ada manual book-nya, tapi tidak semua orang bisa mempraktikkan apa yang ada di manual book. Sebagai muslim, tentu di AlQuran dan berbagai hadist ditambah dengan kajian-kajian ada cara-cara mengasuh dan merawat anak. Tapi, tidak semua orang bisa mempraktikkan hal itu. Sebagai manusia berpendidikan, dalam ilmu psikologi ada manual untuk menghadapi anak dalam setiap jenjang usianya. Tapi nggak semua bisa kita praktikkan ke anak. Saya percaya bahwa setiap anak punya keunikan, kejenakaan, intelegensi, dan berbagai hal yang berbeda dengan anak yang lain. Dan hal-hal magis yang tidak bisa diterawang itu lah yang membuat saya takut. Takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik. Takut seandainya jika anak saya bisa memilih orang tuanya, ia tidak akan memilih saya.
-
Ajakan Melakukan Seks Pranikah
Beberapa netizen yang sudah maupun belum menonton film Dua Garis Biru, pasti ada aja yang nyinyir bahwa ini film yang mengajak para remaja untuk melakukan seks pranikah. Pertama, dialog Bima yang kurang lebih "... toh nanti mereka juga akan berhenti ngomongin kita". Maksudnya, masyarakat pun akan lupa juga dengan kesalahan mereka. Begitu pun dengan orang tua mereka. Beberapa orang mengintepretasikan bahwa ini adalah penggambaran bahwa dengan kata maaf semuanya bisa selesai. Semuanya akan kembali normal. Termasuk kesalahan Dara dan Bima yang lambat laun akan dimaafkan dan ya sudah all is well.
Kedua, dialog Dewi yang menyalahkan Bima mengapa tidak memakai kondom saat berhubungan seksual. Seolah-olah bahwa hubungan seks pranikah yang memakai kondom (atau alat kontrasepsi lainnya) adalah perbuatan yang benar. Dan se-sederhana itu loh melakukan hubungan seks pranikah yang benar. Se-sederhana latex yang melindungi agar perempuan tidak hamil.
Dari sudut pandang saya, bukan begini maksudnya. Dari masalah pertama, saya menganggap bahwa ini lah sudut pandang para remaja yang seharusnya diluruskan oleh orang tua. Hubungan seks pranikah yang berlanjut dengan kehamilan tidak hanya mengubah pandangan orang lain terhadap kita, tetapi juga mengubah status kita dari anak menjadi orang tua. Salah satu dialog bantahan yang saya suka adalah dari Mama Dara yang mengutarakan bahwa "Kamu pikir gampang jadi orang tua? Mama aja gagal!!!" dan "Jadi orang tua itu bukan hamil 9 bulan 10 hari, itu pekerjaan seumur hidup". Ini lah yang penting untuk diedukasikan kepada para remaja muda belia itu. Bahkan orang yang sudah menikah (dan tahu konsekuensi dari pernikahan adalah mempunyai anak) pun banyak yang belum siap menjadi orang tua. Apalagi anak baru umur segitu, yang masih seneng-senengnya fangirling, masih hobi nge-game, dan sebagainya.
Kemudian dari masalah kedua, soal seks pranikah yang aman ya tinggal pakai kondom. Bagi saya, hubungan seks pranikah adalah kebijakan setiap keluarga. Alih-alih menjadi norma agama, keputusan boleh tidaknya melakukan hubungan seks pranikah kembali lagi ke keluarga. Meskipun mayoritas agama dan agama mayoritas melarang hubungan seks pranikah dengan segala ancaman neraka yang berapi-api, tetapi banyak juga keluarga yang tidak melarang hubungan seks pranikah. Ya itu tadi, asal kan nggak hamilin anak orang sih nggak papa. Mengenai hal ini, tentu harus didiskusikan dengan keluarga, mau ikut yang mana. Mau membawa diskusi film ini ke mana. Choose wisely. Pun batasan berhubungan dengan lawan jenis juga kembali lagi menjadi keputusan keluarga. Nggak apa-apa kok ciuman, asal nggak sampai penetrasi. Atau jangankan boncengan, gandengan saja nggak boleh. Kembali lagi itu sebuah pilihan.
-
Bagi saya, film Dua Garis Biru adalah film multi-interpretasi, multi-tafsir. Ada banyak cara dan sudut pandang untuk mengupas film ini. Bukan tanpa cela, tapi saya rasa film ini cukup sempurna dan berani untuk mengupas apa yang tidak berani dikupas oleh sineas lain. Mendobrak stigma dan kewajaran (yang sebenarnya tidak wajar) yang ada di masyarakat.
Bersama dengan kekalutan, kebingungan, dan kesedihan paska menonton film ini, saya tutup review dengan nilai 9.9/10.

Comments

Popular posts from this blog

Pack (and unpack) These Feelings

Kau tahu apa hal yang paling sulit dari menjadi manusia? Bagiku, hal yang paling menyulitkan adalah punya berbagai perasaan. Marah, sedih, bahagia, kecewa, jijik, jatuh cinta, patah hati. Dari sekian banyak perasaan itu yang paling aku benci adalah jatuh cinta. Aku benci untuk bertemu dengan orang baru, merasa cocok, (tololnya) menjatuhkan hatiku, menghabiskan waktu bersamanya, melakukan banyak hal berdua, lalu jika sudah saatnya berakhir, maka salah satu dari kami harus mengemasi koper perasaan dan hengkang dari relung hati masing-masing. Pergi menjauh, berjarak, pura-pura tidak kenal jika tiba-tiba bertemu di tempat umum. I hate to pack and unpack my feelings. It's like I just arrived at the hotel, unpack my luggage, choose what to wear and what to do, having fun, and when the checkout time arrived, I have to pack all of the joy and leave the hotel. Back to reality. I hate this kind of staycation yet I looove staycation so much. Lalu aku berhenti untuk membawa koper besar tiap ka...

Blooming in Time (I)

 Pada suatu ketika, aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku kehilangan aku. Suamiku tidak kehilangan istrinya. Anakku pun tidak kehilangan ibunya. (Mungkin) ibuku pun tidak kehilangan anak perempuannya. Tapi aku kehilangan aku. Mungkin aku kurang bersyukur, begitu kata orang-orang. Apalagi yang kuharapkan dalam hidup? Kehidupan layak, anak cerdas, suami setia, lingkungan kerja santai tapi gaji tetap ada. Apalagi yang kurang? Namun sekali lagi, sekali pun aku tak hentinya bersyukur dengan apa yang tercurahkan dalam hidupku, aku tetap merasa kehilangan aku. Sekali lagi, aku kehilangan aku. Bukan seperti gembala yang kehilangan asu - kelimpungan menjaga ternaknya. Tidak. Aku kehilangan aku. Dan aku ingin menemukan di mana diriku tercecer. Mungkin terselip di sela-sela halaman novel dewasa yang belum tamat kubaca. Di sudut kamar bersama debu-debu yang luput tersapu. Di dinding kamar mandi yang belum kugosok lagi. Aku ingin menemukan aku yang hilang. Sebelum ingatan tentangku juga kia...